Rekoleksi Ikafite, Menjadi Pribadi yang Berwatak dan Berakhlak

Guru adalah ujung tombak pendidikan Katolik, maka tugas sekolah Katolik adalah menyiapkan guru yang berkualitas dan profesional. Sekolah Katolik juga harus bekerja sama dengan orang tua dan pihak-pihak lain dalam dunia pendidikan. (Gaudium Et Spes 8)

Webinar dan rekoleksi Ikafite (Ikatan Alumni Filsafat Teologi Sanata Dharma) pada tanggal 11 September 2025 masih membahas tema Konsili Vatikan II. Secara khusus membicarakan tentang pendidikan Katolik yang menjadi puncak pelayanan setiap angota gereja Katolik tanpa terkecuali. Gereja Katolik selama berabad-abad memiliki tradisi yang besar untuk membentuk pendidikan, mendirikan sekolah, serta membentuk murid dan guru yang berorientasi pada sifat dan teladan Yesus sebagai “Sang Guru”. Bahkan, sudah tidak terhitung lagi biarawan biarawati di seluruh dunia yang berada di garda terdepan dalam pewartaan gereja Katolik di mana mereka pernah mengenyam pendidikan di sekolah Katolik.

Geraja Katolik juga pernah bangga tatkala di banyak negara terutama di daerah-daerah terpencil, berada di garda terdepan dalam mendidik dan melayani masyarakat melalui sekolahnya. Akan tetapi, seiring perkembangan dan kemajuan zaman, banyak orang bertanya, “Apakah pendidikan Katolik masih bisa mempertahankan pelayanan dan mutunya?”. Di beberapa kota, sekolah Katolik mulai kurang diminati lagi. Sekolah Katolik tidak hanya kesulitan mencari murid tetapi juga kesulitan menemukan Sumber Daya Manusia.

Sekolah-sekolah Katolik perlu menemukan sistem yang tepat dan baik demi menjaga kualitas. Isu inilah yang menjadi pembahasan utama oleh tiga narasumber. Prof. Dr. Paul Suparno, S.J., dosen Fisika Universitas Sanata Dharma, Dr. Ferdinandus Hindiarto, S.Psi., M.Si., mantan Rektor Universitas Soegiyo Pranoto, dan Profesor Anita Lie yang selama ini memberi pendampingan pendidikan di Indonesia dan melakukan penelitian tentang pendidikan di luar negeri.

Sekolah seharusnya tidak hanya menjadi sarana atau lahan transfer ilmu, tetapi juga selayknya menjadi sarana transfer kemanusiaan (memanusiakan manusia). Selama ini semua orang tahu bahwa setelah lulus sekolah, hasilnya tidak hanya menghidupi keluarga atau menjamin akan memiliki keluarga yang baik dan sejahtera. Karena pada beberapa hari terakhir dengan maraknya demonstrasi yang ditunjukkan pada anggota DPR, anak-anak dalam keluarga terkadang tidak bisa membedakan yang baik dan kurang baik, yang benar dan tidak benar, bahkan anak-anak juga ikut melakukan penjarahan dan pembakaran. Mungkin, beberapa di antara pelajar yang melakukan aksi tidak terpuji berasal dari sekolah-sekolah Katolik. Hal ini bisa dijadikan indikasi bahwa sekolah Katolik mulai kehilangan pendidikan karakter.

Romo Paul dalam penjelasannya, meninjau kembali tantangan mengelola sekolah Katolik berdasarkan Konsili Vatikan Gravissimum Educations (GE). Inti GE menyadarkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan (GE.1), dan setiap orang Kristen berhak mendapat pendidikan Kristiani dengan semangat kasih Injili (GE.2). Tujuan dari pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh sehingga semua segi harus diperhatikan (tidak hanya segi kognitif). Orang tua memiliki tanggung jawab pada pendidikan anak (GE.3), karena tugas utama orang tua adalah mendidik anak. Sehingga tugas gereja dan negara hadir untuk membantu orang tua mendidik anak dengan sekolah.

Sekolah Katolik sebagai bentuk kehadiran gereja (GE.8) dalam membantu persoalan dunia mendidik orang muda, maka sekolah harus dapat menciptakan lingkungan yang berjiwa kasih Injili dan mengembangkan pribadi siswa yang utuh. Guru adalah ujung tombak pendidikan Katolik, maka tugas sekolah Katolik adalah menyiapkan guru yang baik dan profesional. Sekolah Katolik juga harus bekerja sama dengan orang tua dan pihak-pihak lain dalam dunia pendidikan.

Mempersiapkan Tenaga Pendidik Berkualitas

Sadar akan peran sekolah Katolik sebagai kehadiran gereja, sekolah Katolik harus mampu membantu dunia pendidikan agar tercipta manusia baru yang memiliki semangat Injili sehingga menciptakan manusia yang cerdas dan baik. Peka membantu teman yang kesulitan, peduli pada berbagai permasalahan sosial, dan melakukan aksi nyata pada berbagai permasalahan lingkungan merupakan bentuk penjabaran yang nyata. Strategi yang bisa dilakukan sekolah-sekolah Katolik adalah menyiapkan lingkungan yang berjiwa kasih/Injili. Misalnya saja menciptakan siswa yang tidak bersaing untuk saling menjatuhkan. Kecenderungan siswa saat ini, mereka tidak mau membantu teman dalam belajar karena takut tersaingi.

Strategi kedua yang bisa dilakukan sekolah Katolik adalah mempersiapkan guru yang bermutu, profesional, bersemangat kasih, dan dapat menjadi teladan bagi siswa. Sekolah Katolik juga harus bisa memberikan pembelajaran yang holistik dan bermoral. Hal ini adalah tanggung jawab semua guru dan tenaga kependidikan. Kerja sama orang tua dan sekolah sangat penting dalam membantu perkembangan anak didik. Pertemuan dengan orang tua yang membahas berbagai persoalan siswa, tantangan zaman, dan cara memberikan pendampingan kepada anak, dapat dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab bersama.

 Memberikan dampak Positif

Dampak positif GE di Indonesia adalah orang tua semakin sadar saat memilih sekolah untuk anaknya. Misalnya saja, bila ingin anaknya kuliah di luar negeri, orang tua akan memilih sekolah yang bisa menyelenggarakan pendidikan secara baik. Jika orang tua ingin anaknya memiliki keimanan Kristen yang kuat, tentu akan memilih sekolah yang mengajarkan fondasi agama dengan kuat. Zaman sekarang, orang tua lebih selektif dalam memilihkan sekolah untuk anak. Mereka tidak lagi berpikir, karena beragama Katolik maka anaknya dimasukkan sekolah Katolik. Orang tua akan memilih sekolah yang benar-benar baik secara akademis, tetapi juga sekolah yang mampu mewadahi tumbuh kembang anak.

GE juga memberikan pembelajaran agama/moral dan pengetahuan sehingga siswa dibantu menjadi cerdas dan baik. Secara tidak langsung gereja juga dibantu oleh para guru dan siswa Katolik dalam gerak perutusan sehingga banyak alumni memberi kesaksian kasih di tengah masyarakat. Semangat GE masih relevan untuk dihidupi dan perlu dikembangkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Hal ini juga perlu diimbangi kerendahan hati menerima ide-ide dari orang luar. Para penyelenggara sekolah perlu sadar bahwa tidak sendiri dalam dunia pendidikan. Maka, diperlukan sebuah kerja sama dengan berbagai sekolah lain. Kerja sama yang “murni” diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Profesor Anita Lie mengemukakan tinjauan pendidikan Katolik di banyak negara memiliki 10 tantangan di abad 21. Sekularisasi, kapitalisme global, relasi gereja-negara, integritas misi, formasi iman, formasi moral dan sosial, rekrumen, formasi, dan refensi guru, perubahan peran pendidikan perempuan, sikap murid, dan keberlajutan finansial. Sekularisasi, kapitalisme global, rekrumen, formasi dan refensi guru, dan keberlanjutan finansial harus menjadi perhatian berbagai lembaga pendidikan Katolik yang mungkin mulai berpikir bahwa nilai-nilai Katolik justru menjadi penghambat dan tidak menjadi daya tarik lagi. Selain itu, lembaga pendidikan sudah mulai “kerasukan” nilai-nilai kapitalisme global. Misalnya saja persaingan antarsekolah. Masalah lain seperti rendahnya minat orang muda untuk menjadi guru karena kesejahteraan yang minim.

Kompetensi warga dalam demonstrasi terutama orang muda karena kesenjangan kesejahteraan, kecerdasan, dan martabat. Global flourishing study meneliti 22 negara tentang 6 area kesejahteraan manusia, yaitu: kebahagiaan dan kepuasan, kesehatan mental dan fisik, makna dan tujuan hidup, karakter dan kebaikan, kedekatan relasi sosial, kemapaman materi dan finasial. Kemapanan materi dan finansial menjadi jargon sekolah-sekolah Katolik supaya anak hidup mapan yang menunjukkan keterhanyutan, kesesatan, dan kelatahan.

Indonesia menempati peringkat pertama dari hasil survei enam area kesejahteraan manusia melebihi negara-negara kaya. Indonesia juga memiliki rata-rata tertinggi dari 22 negara yang disurvei. Indonesia tertinggi pada area kedekatan relasi sosial gotong royong, 75% orang Indonesia melakukan ibadah-ibadah rutin yang menunjukkan religiositas semakin tinggi. Orang muda di semua negara kurang bahagia dibanding yang usia 50 tahun ke atas. Hal ini memberikan sinyal bahwa, jangan sampai lembaga pendidikan Katolik terlibat dalam kompetisi global.

Penurunan demokrasi di bagian elit politik mengindikasikan pendidikan Katolik belum berhasil menyadarkan warga terutama kaum muda. Harapannya, lembaga pendidikan Katolik bisa menghasilkan alumni yang berotak, berwatak, dan bertanggungjawab. Akhir-akhir ini muncul pernyataan dari dua sekolah Katolik, SMA Gonzaga dan Debritto. Hal ini merupakan wujud keberhasilan lembaga pendidikan Katolik dalam partisipasi proses demokrasi. SMA Gonzaga dan Debritto menolak himbauan menteri pendidikan untuk tidak terlibat dalam menyuarakan aspirasi maupun bereaksi terhadap arogansi elit politik.

Untuk menghasilkan alumni-alumni yang berotak dan berakhlak selalu ada hubungan timbal balik. Menurut Ki Hajar Dewantara input yang diterima anak bukan hanya dari sekolah tapi juga dari orang tua dan masyarakat, pemimpin juga menjadi modeling anak. Perilaku pemimpin yang buruk seperti praktik-praktik kotor dan tidak berkeadilan bisa menjadi contoh buruk yang akan dilihat anak. Tanggung jawab kaum intelektual Adalah meningkatkan integritas pendidik dengan menggunakan prespektif kritis dan reflektif.

Proyek-proyek kreatif dan berpikir kritis sangat diperlukan untuk perkembangan anak. Tugas yang diberikan jangan hanya sekadar menghapal. Jika hal ini masih terjadi, maka diperlukan revolusi dalam pengajaran. Peran pendidikan, warga harus membangun kompetensi sejahtera, cerdas, dan bermartabat agar tercipta calon-calon pemimpin berintegritas. Agenda strategis tantangan pendidikan Katolik abad ke-21 perlu terus digaungkan. Memperkuat etos, visi, identitas, misi Katolik, kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai, dialog antariman dan budaya, inklusi dan keadilan sosial, formasi guru, serta keberlanjutan finansial melalui kemitraan tanpa mengorbankan etika.

Bapak Ferdinand berbagi pengalaman kecil di SCU (Soegija Pranata University). Pendidikan adalah urusan kemanusiaan karena yang dididik adalah manusia yang mendidik juga manusia. Tujuan utama adalah agar manusia selalu berorientasi menjadi lebih baik. Kberadaan teknologi sifatnya hanya membantu. Pendidikan harus membimbing para siswa menghadapi realitas memasuki dunia dengan kesadaran dan tanggung jawab, sehingga mentransformasi pribadi.

Ubah Cara Pandang

Siswa harus memiliki motivasi setelah masuk dan bertemu dengan gurunya (motivasi adalah hasil). Tindakan yang pertama dilakukan adalah membangun budaya baru, joyful, piramida dibalik, mahasiswa yang jadi prioritas. Model pembelajaran harus menyenangkan, konstekstual, relevan, kegiatan pembelajaran tidak harus di kelas namun bisa di lapangan. Membangun dan menghidupkan spiritualitas perjumpaan: joyful, personalis (tahu nama mahasiswa, kalau di WA mahasiswa harus dijawab, mengubah ruang ujian), reflektif learning (pendekatan pembelajaran yang menghadirkan pengalaman pribadi yang menyenangkan dan mencerahkan).

Tagline spiritualitas perjumpaan: gemati lan ngajeni dikancani tekan rampung. Refleksi dosen dan mahasiswa kumpul satu semester rasan-rasan dan merefleksikan kegiatan pembelajaran selama satu semester. Ada pemberian anugerah yang bekerja dengan spiritulitas perjumpaan untuk dosen atau tendik selama satu tahun ajaran. Dinamikanya setiap perubahan menghadirkan kegaduhan dan resistensi, perilaku religiositas harus keluar dari level ritual ke behavior. Transformasi menghadirkan perubahan peristiwa pembelajaran yaitu dengan membangkitkan antusiasme belajar, mendorong pemikiran kritis, menumbuhkan sikap reflektif, dan menyalakan api harapan.

Sekolah Katolik harus didirikan berdasarkan spiritualitas jangan hanya menghitung keuntungan yang besar (korporasi), dan sekolah harus kembali ke identitas awal. Jangan sampai perguruan tinggi hanya memelihara sekolah SMA, dan sekolah SMA hanya memelihara sekolah SMP, dan sekolah SMP hanya memelihara sekolah dasar, karena sebenarnya pendidikan adalah ekosistem jika satu bagian ada yang kurang maka akan berdampak pada jenjang yang lainnya. Perlu pemeliharaan di semua jenjang. Sebagai orang tua, seharusnya membiarkan anaknya bahagia dan menikmati proses belajar tidak harus menjadi juara atau memiliki piala sehingga pada akhirnya mereka justru akan memiliki value. Pengurus yayasan sekolah Katolik harus tahu tentang pendidikan, tahu roh Katolik, dan memiliki waktu.

Pendidik utama anak adalah orang tua sehingga bisa dibuat kelompok-kelompok kecil untuk mencari berbagai cara pendampingan. Ilmu parenting juga harus mengikuti zaman. Cara mendidik orang tua dulu belum tentu sesuai jika diterapkan pada anak zaman sekarang.

Problem pendidikan saat ini sangat kompleks, maka diperlukan kerja sama yang jujur dan bersungguh-sungguh. Bekerja di dunia pendidikan sangat diberkati karena dibiarkan berjalan bersama-sama dengan orang muda. Meskipun banyak tantangan, jika bekerja dengan sungguh-sungguh dan berkolaborasi, maka akan mendapatkan hasil yang maksimal. GE masih sangat relevan namun butuh konstektualisasi. Roh Katolik tetap harus dihidupi dan dijaga dengan proses yang lebih relevan dengan situasi saat ini.